Analisis Kekerasan Struktural terhadap Orang Lanjut Usia sebagai Hasil dari Konstruksi Sosial yang Merendahkan dalam Perspektif Multikultur Kesejahteraan Sosial

3.100 Lansia di Limapuluh Kota Terlantar | Republika Online
Ilustrasi: Gambaran Seorang Lanjut Usia

I. Pendahuluan
     Kelompok masyarakat terdiri dari kelompok yang sangat heterogen. Heterogenitas ini membawa dampak yang positif atau negatif. Implikasi negatif salah satunya berbentuk diskriminasi. Biasanya diskriminasi, stereotipe dan sebagainya ini menimpa mereka yang tergolong kelompok marginal. Marginal didefinisikan sebagai berhubungan dengan batas (tepi); tidak terlalu menguntungkan; atau berada di pinggir.1 Dari segi kesejahteraan sosial kelompok marginal adalah mereka yang dalam kehidupan bermasyarakat mendapat perlakuan yang berbeda, cenderung terpinggirkan. Biasanya mereka juga termasuk kedalam kelompok yang rentan (vulnerable). World Health Organization menyebutkan terdapat lima kelompok rentan diantaranya anak, wanita hamil, lanjut usia (lansia), orang-orang yang kekurangan nutrisi (malnourished people), atau mereka yang sakit atau kekurangan imun (people who are ill or immunocompromised).2  

     Salah satu kelompok marginal yang disebutkan diantaranya kelompok lansia. Menurut Undang-Undang Kesejahteraan Sosial Lansia No. 13 Tahun 1998 disebutkan bahwa lansia adalah mereka yang berusia mencapai 60 tahun keatas. Kelompok ini yang rentan mengalami diskriminasi di masyarakat. Menurut Kuyper & Bengston (1973) dalam Julianti (2013) konstruksi sosial tentang lansia yang terbentuk di masyarakat yang mendasarkan pada analisis kompetensi terkait usia yang menyebabkan lansia direndahkan dan mendapat citra diri yang negatif (Chima, 1998). Masalah yang seringkali dihadapi lansia dalam lingkup makro diantaranya kemiskinan, malnutrisi, rendahnya kualitas kesehatan, kekerasan terhadap lansia (elder abuse), keterbatasan akses transportasi (Zastrow & KirstAshman, 2007). 


II. Gambaran Kasus
     Penelitian yang penulis angkat dalam makalah ini adalah penelitian yang berjudul “Kekerasan Struktural terhadap Orang Lanjut Usia sebagai Hasil dari Konstruksi Sosial yang Merendahkan”. Tujuan dari dituliskannya penelitian ini adalah mengungkap kekerasan struktural yang menimpa lansia diantaranya terdiri dari resiko kerentanan kemiskinan, eksklusi sosial hingga elder abuse yang kesemuanya didasarkan atas adanya konstruksi sosial negatif terhadap lansia yang berkembang di masyarakat. Lokasi penelitian ini dilakukan di panti Werdha di Bekasi. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan kritis karena mencoba melihat bagaimana kekerasan struktural yang dialami oleh lansia. Data diperoleh melalui wawancara mendalam tidak terstruktur dan observasi partisipasi.        
     Beberapa kutipan menggambarkan bentuk marjinalisasi terhadap lansia. Diantaranya kutipan Ibu DR, salah seorang penghuni panti. “Semenjak saya tinggal disini sudah sekitar enam bulan, baru satu kali dijenguk (oleh anak saya)”. Hal ini mengindikasikan adanya relasi kuasa antara orangtua dan anak yang mendorong kerentanan sosial. Masih dari Ibu DR, ia mengatakan bahwa jika dirinya termasuk masyarakat menengah kebawah. Berikut jawaban Ibu DR ketika ditanya mengenai tempat tinggal asalnya. “Iya, saya kebetulan juga tidak punya (rumah). Makanya saya memutuskan untuk tinggal di panti saja.” Masalah lainnya berupa bentuk ekskluasi sosial yang dialami oleh lansia yang tinggal di panti. Ibu DW menceritakan tentang keterbatasan fasilitas yang diperoleh. “Disini (di dalam panti) susah, Mas (untuk mendapat akses atau fasilitas publik). Bahkan didalam aja banyak yang sakit katarak tapi belum ada fasilitas dari panti untuk ngobatin (menyediakan operasi katarak). Bahkan sekadar akses untuk keluar panti saja sangat dibatasi. "Kami disini ada batas jam keluar paviliun. Maksimal jam 4 sore udah dikunci (tidak boleh keluar”, papar Ibu DW. Terbatasnya ruang gerak lansia ini juga disebabkan dari lingkungan eksternal yang memang masih belum mengakomodir lansia, misalnya dalam sektor perkerjaan. Bapak OMR, bercerita mengenai kesulitannya dalam mencari pekerjaan. “Mau gimana ya, Mas. Udah susah kalau udah tua gini cari kerja karena ga ada yang mau nerima.” Selanjutnya adalah masalah elder abuse atau perlakuan salah yang diterima oleh lansia di dalam panti, Dipaparkan oleh penulis dalam penelitian tersebut bahwa ketika sedang melakukan observasi ia menemukan ada seorang lansia yang sedang tertidur sementara tangannya terikat ke ranjang. Lain halnya dengan ibu DW yang pernah menerima elder abuse dari pegawai di panti. “Kalau saya pernah ga dikasih susu sama pegawai dapur.” Padahal salah satu hak dari para lansia di panti mendapat susu yang sudah diseduh dengan ditambahkan gula. Perlakuan yang tidak sesuai yang dilakukan oleh pegawai panti dibenarkan oleh Ibu UM, salah seorang pegawai di panti, Ia menyebutkan bahwa hal itu terjadi karena pegawai panti menganggap para lansia bermasalah sehingga berimplikasi pada bentuk perilaku yang tidak menghargai lansia. “Soalnya emang bener ada pegawai yang kadang arogan sama mereka (lansia penghuni panti) karena anggapannya emang mereka pantas (diperlakukan seperti itu).” 

III. Refleksi Diri

     Berdasarkan gambaran diatas dipaparkan mengenai kondisi lansia yang berada di panti werdha. Mengetahui hal tersebut saya merasa sangat prihatin kerena berkaca pada kehidupan saya pribadi saya merasa dapat menjalani aktivitas secara normal. Sementara mereka para lansia mengalami kehidupan yang sulit dan harus dihadapkan pada konstruksi sosial negatif. Dianggap tidak berdaya, tidak produkti dan hanya menjadi beban sosial. Mungkin hal tersebut juga yang menjadi alasan mereka ditempatkan di panti werdha dan bukannya dirawat oleh keluarga masing-masing. Miris mengetahui pelayanan yang diberikan dalam panti werdha yang ternyata dapat dikatakan jauh dari kata ideal. Peristiwa ditemukannya salah seorang lansia yang tidur dalam kondisi tangan terikat ke kasur 
memperlihatkan pembatasan yang terlalu berlebihan. Meski begitu, penulis sebenarnya sudah mengetahui gambaran besar kondisi diskriminasi yang dialami lansia. Penulis pada semester ini kebetulan mengambil mata kuliah “Kesejahteraan Sosial bagi Lansia” dan disana selalu dibahas mengenai diskriminasi yang dialami oleh kelompok lansia. Bahkan, salah satu pengajar mata kuliah tersebut pernah menyebutkan di kelas bahwa kekerasan dalam panti itu banyak sekali terjadi dan oknumnya diantaranya adalah para perawat panti itu sendiri. 

IV. Analisa Kasus

     Lansia rentan mengalami apa yang disebut sebagai ageism. Secara umum ageism adalah bentuk stereotip negatif atau perilaku merendahkan terhadap lansia karena menganggap lansia adalah kelompok masyaraka yang tidak berdaya. Konstruksi akan proses penuaan yang dialami oleh seorang. Konsep yang berdampak pada kehidupan lansia dan mereka yang berusia muda yang mengaburkan pemahaman akan proses penuaan, meningkatkan ketimpangan struktural dan membentuk pola perilaku pada orang lanjut usia yang bertentangan dengan minat mereka (Biggs, 1993; Holstein & Minkler, 2003; Thornton, 2002; Tornstam, 1992 dalam Angus & Reeve, 2006). Sementara itu terdapat “tripartite definition of ageism” yang seringkali digunakan para psikolog, yaitu terdiri dari tiga jenis sikap prejudice (afektif), diskriminasi (behavioural), dan stereotyping (kognitif) Cuddy dan Fiske, 200; Levy dan Banaji, 2004 dalam Stypi dan Nikander, 2018). Lebih lanjut diskirminasi usia ini menurut Carmichael et al (2011) dalam Stypi dan Nikander (2018) adalah “tidak diperbolehkan melakukan sesuatu yang sebenarnya mampu atau ingin dilakukan hanya karena faktor usia” (“not being allowed to do something you are capable of or willing to do just because of your chronological age”). Dalam kasus diatas setidaknya terdapat tiga hal yang dialami oleh lansia, yaiitu kerentanan sosial, eksklusi sosial dan elder abuse. Kerentanan sosial dialami oleh lansia menunjukkan bahwa mereka merupakan kelompok yang rentan mengalami kemiskinan. Di Indonesia 9,6% total populasi adalah lansia dimana 84,29% dari lansia yang bekerja berada di sektor informal dengan pendapatan yang kurang memadai. 46,22% diantara lansia yang masih aktif bekerja bahkan hanya memiliki pendapatan kurang dari satu juta rupiah perbulan (BPS, 2019). Hal ini dikarenakan masih maraknya pemikiran bahwa lansia itu tidak produktif. Lapangan kerja yang adapun cenderung terbatas bagi mereka para lansia. Dapat terlihat dari mayoritas pekerja lansia yang bekerja di sektor informal, sementara hanya 15,71% saja yang bekerja di sektor formal. Kemunduran fisik yang dialami oleh lansia juga tidak ditunjang dengan sistem perlindungan sosial yang memadai. Berdasarkan data BPS tahun 2019 baru 12,91% lansia yang memiliki jaminan sosial. Sementara Program Keluarga Harapan bagi lansia tercatat baru diterima oleh 10,81% rumah tangga lansia. Bahkan Bantuan Sosial Rastra Lansia hanya diterima oleh 11,14% lansia. Ketidakmantapan pemerintah dalam 
memberikan perlindungan sosial bagi lansia melalui program dan kebijakan sosial ini yang juga menjadi penyebab rentannya lansia terjerembab dalam kemiskinan.    
     Selanjutnya adalah masalah eksklusi sosial yang menimpa lansia. Eksklusi sosial didefinisikan sebagai kondisi dimana individu tidak dapat berpartisipasi secara utuh secara ekonomi, sosial, politik dan kehidupan budaya serta berbagai proses yang mengarah atau mempertahankan terhadap kondisi tersebut.3 Eksklusi sosial juga didefinisikan sebagai pemisahan individu dan kelompok dari masyarakat umum (the separation of individuals and groups from mainstream society) (Commins, 2004; Moffat dan Glasgow, 2009 dalam Walsh, Scharf & Keating, 2017). Terdapat juga definisi mengenai ekslusi sosial yang lebih komprehensif dikutip dari Levitas et al.  (2007) yaitru sebagai berikut. 

“Social exclusion of older persons is a complex process that involves the lack or denial of resources, rights, goods and services as people age, and the inability to participate in the normal relationships and activities, available to the majority of people across the varied and multiple domains of society. It affects both the quality of life of older individuals and the equity and cohesion of an ageing society as a whole.” (Levitas et al., 2007 dalam Walsh, Scharf & Keating, 2017) 
     Dari definisi diatas setidaknya dapat diperoleh gambaran besar mengenai kondisi eksklusi yang dialami oleh kelompok lansia. Sebagaimana terdapat dalam kasus diatas bahwa pergerakan lansia yang tinggal di dalam panti dibatasi sedemikian rupa. Bahkan terdapat lansia yang harus digembok tangannya ketika sedang tidur. Atau batasan waktu jam keluar yang diberlakukan oleh panti. Hal ini tidak selaras dengan isi dari Undang-Undang Kesejahteraan Sosial Lansia yang menyebutkan bahwa “Lanjut usia mempunyai hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” Hak tersebut selanjutnya dijelaskan dalam ayat berikutnya berupa: a. pelayanan keagamaan dan mental spiritual; b. pelayanan kesehatan; c. pelayanan kesempatan kerja; d. pelayanan pendidikan dan pelatihan; e. kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum. f. kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum; g. perlindungan sosial; h. bantuan sosial.  Lansia juga mengalami apa yang disebut sebagai elder abuse. Menurut Birren (2007) tidak ada definisi baku yang disepakati secara luas terkait elder abuse. Namun, setidaknya disepakati terdapat lima jenis abuse yang termasuk dalam elder abuse. Diantaranya: physical abuse, medical abuse, sexual abuse, psychological abuse dan material abuse. Adapun bentuk abuse yang terjadi dalam panti tidak diketahui secara pasti namun jika melihat keterangan Ibu UM, bahwa terdapat beberapa sikap arogan yang ditunjukkan oleh beberapa pegawai atau perawat di panti. Hal ini dimungkinkan dapat tergolong kedalam jenis pyschological abuse yaitu berupa pengaruh kesengsaraan mental yang disengaja atau provokasi rasa takut seperti melalui pemanggilan nama dengan konotasi tertentu, penghinaan, intimidasi, dan sebagainya. Kasus elder abuse sendiri banyak yang tidak tercatat. Diperkirakan sekitar 600.000- lebih dari 1.000.000 kasus terjadi setiap tahun. Angka abuse diperkirakan terjadi pada 5 persen dari populasi lansia (Papalia et al., 2004 dalam Zastrow & Kirst-Ashman, 2007). Jika merujuk pada data keberadaan lansia dimana lansia tinggal hanya sekitar 5% lansia yang hidup di panti werdha atau lembaga sejenis (Zastrow & Kirst-Ashman, 2007). Namun tetap saja, hak-hak lansia dimanapun itu harus tetap didapatkan. Sesuai dengan salah satu prinsip United Nations Principles for Older Persons, prinsip dignity pada poin ke-17 yang berbunyi “Older persons should be able to live in dignity and security and be free of exploitation and physical or mental abuse.”4   
     Jika mengacu pada peran pekerja menurut Zastrow (2010) terdapat 13 peran diantaranya sebagai enabler, broker, advocate, activist, mediator, negotiator, educator, initiator, empwerer, coordinator, researcher, group facilitator, dan public speaker. Dalam kasus diatas peran yang paling sesuai adalah peran sebagai activist. Seperti dikutip dari Zastrow (2010), “an activist seeks institutional change; often the objective involves a shift in power and resources to a disadvantaged group”. Peran aktivis menitikberatkan pada ketidakadilan sosial, ketimpangan, konfrontasi dan sebagainya yang biasanya menimpa disadvantaged group. Menggunakan metode asertif dan social-action pekerja sosial melakukan engagement sambil mencari fakta-fakta terkait ketidaksesuaian layanan yang diberikan di dalam panti. Untuk kemudian melakukan mobilisas dan upaya lain dalam rangka mendapat perhatian publik akan permasalahan yang ada di panti werdha agar selanjutnya dapat diberikan perbaikan yang sesuai.   
V. Kesimpulan dan Rekomendasi
     Kelompok lansia memang tidak dapat dipungkiri memiliki perbedaan kemampuan fisik, mental dan sosial dibanding kelompok usia lain. Namun, bukan berarti itu bisa menjadi dasar untuk melakukan diskriminasi dan stereotyping karena hakikatnya semua manusia memiliki hal yang sama dan setara. Peran masyarakat perlu ditingkatkan dalam meningkatkan knowledge yang benar dalam memandang lansia. Pemerintah juga dituntut menyediakan layanan yang proporsional bagi lansia. Harapannya kelompok lansia dapat dipandang sama dengan kelompok lainnya sehingga tidak terdapat lagi peristiwa marjinalisasi terhadap lansia yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan hak asasi manusia. 




Daftar Pustaka 
Angus, J., & Reeve, P. (2006). Ageism: A threat to “aging well” in the 21st century. Journal of Applied Gerontology, 25(2), 137–152. https://doi.org/10.1177/0733464805285745 

Birren, J. E. (2007). Encylopedia Of Gerontology 2nd Edition: Age, Ageing and Aged. 

BPS. (2019). Statistik Penduduk Lanjut Usia 2019. ISSN: 2086-1036 

Julianti, S. (2013). Kekerasan Struktural Terhadap Orang Lanjut Usia Sebagai Hasil Dari Konstruksi 
Sosial Yang Merendahkan Tentang Lansia (Studi Pada Penghuni Panti Werdha Di Bekasi). Indonesian Journal of Criminology, 9(2), 67–79. 

Stypi, J., & Nikander, P. (2018). Ageism and Age Discrimination in the Labour Market : A Macrostructural Perspective. 91–108. 

Walsh, K., Scharf, T., & Keating, N. (2017). Social exclusion of older persons: a scoping review and conceptual framework. European Journal of Ageing, 14(1), 81–98. https://doi.org/10.1007/s10433-016-0398-8 

Zastrow, C. 2010. Introduction to Social Work and Social Welfare, 10th edition. Brooks/Cole, Cengage Learning. ISBN-13: 978-0-495-80952-4.   

Zastrow, C. & Kirst-Ashman, K. (2007). Understanding Human Behavior and the Social Environment, 7th edition. Thomson Brooks/Cole. ISBN 0-495-00622-X 

Comments

Popular posts from this blog

4 Diskursus dalam Pengembangan Layanan Kesejahteraan Sosial

Perkembangan Sejarah Pekerjaan Sosial Profesional

Meninjau Tiga Model Pendekatan Pribumisasi Pekerjaan Sosial: Indegenisasi, Otentisasi dan Pendekatan Multibudaya