Meninjau Tiga Model Pendekatan Pribumisasi Pekerjaan Sosial: Indegenisasi, Otentisasi dan Pendekatan Multibudaya

     

Ilustrasi: Masyarakat Suku Baduy

    Praktek kesejahteraan sosial banyak mengadopsi prinsip dan nilai-nilai Barat. Hal ini wajar mengingat sejarah awal perkembangan pekerjaan sosial berasal dari Barat. Seiring berjalannya waktu ditemukan permasalahan bahwa tidak setiap pendekatan yang ada relevan dengan kondisi masyarakat, Terutama apabila diterapkan pada masyarakat non-Barat yang memiliki budaya dan nilai yang notabene berbeda atau bahkan kontradiksi dengan budaya Barat. Misalnya, metode casework yang dalam beberapa kasus kurang relevan jika diterapkan pada komunitas atau masyarakat yang masih memegang budaya yang erat. Untuk itu, hadir sebuah konsepsi yang dianggap lebih "peka budaya". Konsepsi ini disebut pribumisasi pekerjaan sosial. 

    Pribumisasi pekerjaan sosial memiliki tiga model pendekatan dalam prakteknya. Ketiga model tersebut diantaranya indegenisasi, otentisasi dan pendekatan multibudaya. Pada kali ini akan dijelaskan secara umum mengenai ketiga jenis model pendekatan pribumisasi pekerjaan sosial tersebut.

1. Indegenisasi

    Indegenisasi pekerjaan sosial bisa disebut juga sebagai praktek yang peka budaya. Disebut peka budaya karena dalam prakteknya aspek penerimaan akan perbedaan budaya yang ditemukan di lapangan menjadi sangat penting. Berusaha untuk membuat praktek yang lebih sesuai dalam konteks non-Barat. Model ini berisi kerangka praktek pekerjaan sosial yang pada dasarnya bersifat aplikatif, tetapi mensyaratkan penyesuaian agar lebih cocok dengan budaya non-Barat. Metodenya pun berupaya mengalihkan dari casework menjadi bersifat community atau social development. Model lain yang dititikbertkan disini adalah model pengetahuan budaya dan model sadar budaya. Praktek dijalankan menyesuaikan dengan budaya lokal baik melalui penggalian pengetahuan mengenai pola-pola budaya dari kelompok minoritas atau membangun kesadaran antar pekerja sosial mengenai perbedaan budaya. Kelebihan model ini diantaranya dapat menawarkan suatu bidang praktek alternatif bagi pekerja sosial dalam konteks non-Barat dan dapat memberikan acuan kerangka konstektualisasi satu budaya dari budaya lain. Sementara itu kekurangannya tidak mengintegrasikan perspektif perkembangan berpusat manusia dan tidak mempertimbangkan sentralitas budaya dalam pembangunan. Model ini juga belum mengembangkan suatu pemikiran ulang tentang kerangka praktek yang ada, termasuk suatu definisi tentang profesionalisasi dalam konteks budaya yang berbeda-beda serta masih terkungkung dalam suatu kerangka pekerjaan sosial Barat.

2. Pengaslian/Otentisasi (Authentisation)    

    Istilah "authentisation" atau otentisasi pertama kali diciptakan oleh para penulis berkebangsaan Mesir. Menggabungkan konsep Arab "Ta'seel" yang berarti "kembali ke akarnya untuk mencari arah; memulihkan keaslian; menjadi asli" (Ragab, 1990 dalam  Kee, 2007). Berbeda dengan indegenisasi yang mencoba menyesuaikan model Barat dengan situasi lokal, otentisasi berangkat dari kekuatan internal untuk menggerakan pengembangan model dan teori berdasarkan pandangan dari dunia pribumi. Otentisasi berusaha untuk kembali ke akar, mencari arah bagi pengembangan praktek yang tepat budaya. Mencoba untuk terlepas dari kungkungan Barat dengan merekonseptualisasikan kerangka praktek alternatif. Beberapa model yang digunakan diantaranya model membumikan pekerjaan sosial dalam pandangan dunia dan budaya orang-orang (contoh: Model Aborogin Kanada dan pekerjaan sosial Maori); mengintegrasikan praktek-praktek pemberian bantuan ke dalam pekerjaan sosial (contoh: para pekerja sosial belajar dari para pemberi bantuan tradisional); dan menggabungkan teori praktek dari para pekerja sosial lokal (contoh: penelitian empirik). Beberapa sumbangan model ini diantaranya menawarkan pendekatan-pendekatan yang berakar di dalam pola budaya dan sistem keyakinan; budaya dan identitas sebagai landasan bagi praktek yang sesuai; menggarisbawahi pentingnya mengidentifikasi proses pemberian bantuan yang dapat diterima secara budaya atau pribumi dan menitikberatkan perlunya mengembangkan teori lokal yang dibumikan dalam praktek. Sementara kelemahannya yaitu belum ada gambaran konkret tentang suatu metodologi; dan tidak secara memadai mengakui adanya kemajemukan pandangan dunia di dalam dan diantara kelompok yang berbeda.

3. Posisi Internasional yang Multibudaya (the multicultural, international)

    Salah satu tokoh model  ini, Sanders adalah tokoh yang paling jelas dalam mengkonseptualisasikan model posisi internasional yang multibudaya. Tentang konsep multikulturalisme dapat dilihat salah satu kutipan dibawah ini yang dikutip dari Kee (2007).

"...multikukturalisme adalah suatu pendekatan yang menegaskan realitas keberagaman budaya...Multikulturalisme berarti suatu perspektif -suatu pendekatan filosofis- dalam mana ada kemungkinan bagi seorang individu untuk mempertahankan banyak sekali apa yang berbeda dan kreatif dalam tradisi budayanya dan pada waktu yang sama dapat menggunakan dan mengintegrasikan tradisi-tradisi budaya yang berbeda dari suatu masyarakat yang majemuk. Multikulturalisme menekankan perlunya memahami dan berhubungan dengan budaya-budaya yang berbeda secara nasional dan internasional serta memandang perbedaan-perbedaan budaya dengan cara yang positif. Ini berbeda dengan suatu konsep suatu budaya yang dominan". (Sanders, 1980)

    Titik berat model ini adalah pekerjaan sosial harus mampu berelasi dengan budaya yang berbeda baik secara nasional maupun internasional. Pekerja sosial juga harus mampu beralih dari kerangka referensi sesuai dengan orang atau konteks dimana mereka bekerja. Pendekatan yang digunakan adalah perspektif internasional yang multibudaya (Sanders, 1980) dan pekerja sosial mengadopsi suatu batasan diri yang cair. Sumbangan model ini bagi praktek kesejahteraan sosial diantaranya menjembatani antara posisi indegenisasi dan otentisasi; mengkritik pandangan budaya tunggal dari dua posisi lainnya dan menggarisbawahi hakikat kebudayaan yang sedang berubah dan dinamis. Sementara kelemahannya model ini tidak menawarkan pendekatan-pendekatan yang digambarab secara jelas untuk mengembangkan praktek pribumi. 


Referensi

Kee, Ling How. (2007). Pribumisasi Pekerjaan Sosial: Penelitian dan Praktek di Sarawak. D.I Yogyakarta: Penerbit Samudra Biru.

Comments

Popular posts from this blog

4 Diskursus dalam Pengembangan Layanan Kesejahteraan Sosial

Perkembangan Sejarah Pekerjaan Sosial Profesional