4 Diskursus dalam Pengembangan Layanan Kesejahteraan Sosial


Suatu layanan kesejahteraan sosial memiliki preferensi dalam memberikan layanan. Human Service Organzation (HSO) ada yang lebih menekankan pada optimalisasi penerima manfaat (beneficiaries). Ada juga HSO yang lebih menitikberatkan pada aspek layanan dan perencanaan di tingkat elit HSO. Perbedaan ini didasari atas perbedaan preferensi HSO dalam memberikan layanan. Kali ini penulis akan membahas empat diskursus dalam pengembangan layanan kesejahteraan sosial yang biasanya digunakan dalam mengimplementasikan layanan pads HSO. Keempat diskursus tersebut yaitu: diskurus manajerial, diskursus pasar, diskursus profesional, dan diskursus komunitas. Dalam setiap diskursus menempati posisi yang berbeda-beda yang dapat dilihat di bagan 1.1. Hal ini yang menentukan karakteristik diskursus. Pembahasan kali ini akan difokuskan pada lima jenis indikator yang membedakan antara satu diskursus dengan diskursus lainnya, diantaranya: 

1. Hakikat dari kesejahteraan (the nature of the welfare)
2. Penerima layanan kesejahteraan sosial (the recipient of welfare)
3. Peran petugas (the role of worker)
4. Pertanggungjawaban (accountability)
5. Kebijakan (policy)


Berikut merupakan penjelasan mengenai perbedaan antara satu diskursus dengan diskursus lainnya.

1. Diskursus Manajerial. 
Diskursus ini jika diliat pada bagan 1.1 berada di sisi kiri-atas. Artinya diskursus bersifat positivistik dan arahnya top-down (dari atas ke bawah). Sifatnya yang positivistik menyiratkan model yang sarat akan evaluasi program dan efektivitas kebijakan yang tinggi. Hakikat pemberian layanan adalah produk yang ditawarkan kepada para pengguna (consumer) yang telah dirancang sedemikian rupa oleh perencanan program atau HSO terkait. Dari segi penerima layanan kesejahteraan sosial, kelompok sasaran penerima layanan hanya sebagai consumer yang hanya menerima layanan tanpa bisa mempengaruhi kualitas layanan yang diberikan. Peran petugas biasanya sebagai case manager dimana pekerja sosial berperan melaksanakan program yang telah direncanakan oleh tim manajerial. Pertanggungjawaban atasa layanan ditujukan kepada manajer atau supervisor. Hal ini karena arah layanan top-down. Arah kebijakan juga diarahkan pada perbaikan manajerial jika terjadi ketidakefektifan layanan yang diberikan. Contoh dari diskrusus manajerial adalah layanan kereta commuter line. Penerima jasa hanya sebagai pengguna dan tidak bisa berpengaruh pada kualitas layanan. Meskipun seringkali banyak masalah terutama terkait kepadatan pada jam pulang atau berangkat kerja. Consumer hanya bisa menerimanya karena memang sifat layanan yang memakai diskursus manajerial.    
  
2. Diskursus Pasar
Jika melihat pada posisi bagan, diskursus ini berada pada kutup positivistik dan arahnya bottom-up (berada di bagian bawah bagan). Masih sama seperti diskursus manajerial, penekanan ada pada aspek kebijkana dan perencanaan program yang dibuat. Namun, arahnya yang bottom-up membuat diskursus ini lebih mempertimbangkan masukan dan saran pengguna layanan dalam merencanakan program. Hakikat dari layanan yang diberikan adalah suatu komoditas yang ditawarkan kepada para pengguna layanan yang dalam proses perencanaannya melalui assessment terhadap kebutuhan pengguna layanan. Dari segi penerima layanan, masukan consumer cukup diperhitungkan dalam upaya mengembangkan program dibanding dalam diskursis manajerial. Akuntabilitas atau pertanggungjawaban diskursus ini terletak pada pilihan pengguna dalam menggunakan layanan, apakah pemakaian layanan mengalami peningkatan atau penurunan. Sementara itu peran pekerja sosial sebagai entrepreneur yang menawarkan layanan atau komoditas kepada kelompok sasaran. Pekerja sosial juga bisa berperan sebagai enabler dengan menjadi penghubung antara pihak pemberi layanan dengan pihak yang membutuhkan layanan. Arah kebijakan mendorong pada peningkatan kompetisi antar berbagai HSO. Arahnya pada privatisasi yang berusaha memperkecil beban negara. Landasan rasionalisme ekonomi dalam diskursus ini menyiratkan tiga komponen didalamnya yaitu privatisasi, deregulasi dan kompetisi. Contoh diskurus pasar pelatihan menjahit di masyarakat yang dapat menambah pendapatan masyarakat jika memiliki keahlian menjahit.

3. Diskurus Profesional 
Tipe diskursus ini berada pada kutub humanistik dan top-down (terletak di sisi atas bagan). Hakikat layanan kesejahteraan sosial pada tipe diskursus ini memperhatikan prinsip-prinsip pekerjaan sosial seperti individualisasi, worker's self awareness, dan confidentiality. Pendekatan yang dipakai lebih bersifat casework dimana pekerja sosial dalam melakukan intervensi dianggap pihak yang lebih tahu dibanding klien atau penerima layanan. Penerima layanan diposisikan "dibawah" pemberi layanan. Bagaikan dokter yang melayani pasien. Peran pekerja sosial disini sebagai penyedia layanan profesional. Pertanggungjawaban pada diskursus ini adalah pada klien sebagai penerima layanan dan organisasi profesi. Muatan yang diangkat pada diskursus ini adalah relasi profesional antara klien dan penerima layanan sehingga kehadiran organisasi profesi sebagai penguat dan prasayarat berkembanbgnya relasi profesional tersebut tidak terelakkan. Implikasi selanjutnya adalah praktik privat yang berkembang karena adanya organisasi profesi yang memberikan lisensi praktik. Arah kebijakan kepada peningkatan kuantitas tenaga profesional dan keterampilan pekerja sosial itu sendiri. Juga memberikan sertifikasi tenaga profesional. Kemudian setiap layanan bisa berkembang dengan maksimal. Contoh diskursus ini misalnya pelaksanaan konseling pengguna narkoba kepada seorang praktisi kesejahteraan sosial tersertifikasi.

4. Diskursus Komunitas  
Sama seperti diskurus profesional, diskursus ini berada pada kutub humanistik. Artinya penenakan utama pada aktivitas sosial yang lebih bersifat kualitatif. Perbedaannya hanya pada letaknya yang berada di sisi bawah (bottom-up). Nature of welfare diskursus ini menekankan pada keterlibatan dan partisipasi aktif masyarakat dalam konteks pemberdayaan masyarakat. Penerima layanan dianggap relatif sejajar atau sederajat dengan pemberi layanan. Prinsip egalitarian coba dikembangkan dalam diskursus ini. Sementara peran petugas atau pekerja sosial lebih menjadi community worker atau enabler (pemercepat pertumbuhan atau perkembangan). Pekerja sosial berusaha untuk mendorong perubahan melalui keterlibatan aktif masyarakat dalam proses intervensi atau pemberian layanan. Mulai dari proses assessment, pelaksanaan hingga terminasi. Pertanggungjawaban dilihat melalui proses pengambilan keputusan yang demokratik (democratic decision-making) terutama pada proses assessment dan designing process (perencanaan). Oleh karena itu pendekatan yang dipilih adalah pendekatan non-direktif daripada direktif. Arah kebijakan mendorong partisipasi aktif masyarakat dan mencoba memaksimalkan berbagai sumber daya yang ada di masyarakat dalam menjalankan layanan yang diberikan. Desentralisasi menjadi hal penting agar keputusan yang muncul memang berasal dari masyarakat setempat dan bukan dari pusat. Contoh diskursus ini adalah pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa di perkampungan pemulung. 


Sumber:

Adi. (2015). Kesejahteraan Sosial (Pekerjaan Sosial, Pembangunan Sosial, dan Kajian Pembangunan) Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. ISBN: 978-979-769-600-9
 

Comments

Popular posts from this blog

Perkembangan Sejarah Pekerjaan Sosial Profesional

Meninjau Tiga Model Pendekatan Pribumisasi Pekerjaan Sosial: Indegenisasi, Otentisasi dan Pendekatan Multibudaya